THE ROLE OF FILM AS ARTS MEDIA
PERAN FILM SEBAGAI MEDIA SENI UNTUK MENGEMBALIKAN NASIONALISME:
STUDI KASUS PADA FILM NAGABONAR JADI 2
Sueb, Rizqi Zhairisma, Aan Frisca Defi Prastya
Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
Jl. Surabaya No. 6 Malang
Abstract: Degradasi nasionalisme merupakan sebuah permasalahan yang tak dapat kita pungkiri lagi keberadaannya. Hal ini tentunya sangat berbahaya bagi bangsa Indonesia yang sejak dulu telah menjadikan nasionalisme sebagai identitas bangsa. Kegagalan menanamkan paham nasionalisme pada masyarakat dapat menyebabkan berbagai dampak buruk seperti gerakan-gerakan separatisme, kecintaan berlebihan terhadap nilai-nilai asing, serta lunturnya rasa bangga terhadap budaya bangsa. Bangsa kita membutuhkan suatu media yang efektif untuk meningkatkan kembali rasa nasionalisme. Film, dengan berbagai keunggulannya bila dibandingkan dengan media lain, berhasil menjawab tantangan ini. Film Nagabonar Jadi 2 adalah film yang sanggup membuat sinergi yang baik antara seni dan pesan moral sehingga masyarakat dapat menyerap pesan nasionalisme tanpa kehilangan unsur hiburan. Film-film seperti inilah yang pembuatan dan pemutarannya diharapkan lebih intensif agar permasalahan seputar rapuhnya nasionalisme kita dapat teratasi. Kelak film-film Indonesia diharapkan dapat menjadi garda depan menuju perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik.
Keywords: Film, Nasionalisme, Nagabonar Jadi 2
LATAR BELAKANG
Ketika kami melihat salah satu film Indonesia yang berjudul Nagabonar Jadi 2, yang merupakan sekuel dari film Nagabonar, kami terhibur dan sekaligus tersentuh dengan cerita dan pesan moral yang ada di dalamnya. Setelah selesai menonton, kami merasa ada hal baru
yang menuntun kami untuk berubah, baik dari segi kepribadian, religi, inspirasi, dan bahkan rasa nasionalisme yang kembali terangkat.
Namun ketika kita berbicara tentang nasionalisme di Indonesia saat ini, kita akan menemui perbedaan besar antara kondisi nasionalisme bangsa Indonesia tempo dulu dan kini. Hal ini disebabkan oleh adanya degradasi kesadaran nasionalisme masyarakat Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan sebuah negara (nation) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia
Hampir semua masyarakat mampu menyadari bahwa semua sikap dan kepribadian dari segala aktivitas kita saat ini cukup merefleksikan betapa kita mengalami “krisis nasionalisme, krisis kebangsaan”. Muncul kekhawatiran bahwa nasionalisme telah menjadi usang oleh dominasi kapitalisme dan sebagian akibat formalisme paham kebangsaan oleh era Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru di masa lalu.
Oleh karena itu, apa yang terjadi di Indonesia sebenarnya adalah adanya masalah non-fisik yang berasal dari dalam yang mengancam kesatuan negara ini sendiri. Eko Aprilianto mengatakan bahwa masalah utama memang tampak berada di permukaan tapi sebetulnya masalah yang benar-benar besar ada pada moral nasionalisme masyarakat Indonesia yang begitu remuk. Hal ini dapat dilihat dari berbagai adanya gerakan-gerakan separatis di negara Indonesia, pertikaian di Poso, adanya perang saudara dan bentrok antar golongan di beberapa daerah di Indonesia. Kejadian-kejadian tersebut tidak lain karena rapuhnya rasa nasionalisme yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia.
Oleh karena itulah mutlak dibutuhkan suatu media yang dapat mengembalikan rasa nasionalisme masyarakat Indonesia. Salah satu media yang mampu mentransformasikan peran ini ke tengah-tengah masyarkat adalah media film.
Sebagai media kesenian, film adalah salah satu bentuk kesenian yang paling populer di kalangan masyarakat. Walaupun keadaan perfilman di Indonesia sempat mengalami situasi yang fluktuatif, bukan berarti dunia perfilman di Indonesia mati. Perfilman Indonesia saat ini justru sedang mengalami perkembangan pesat baik dari segi kualitas maupun kuantitas, sehingga apresiasi masyarakat pun semakin tinggi. Disamping itu, film memiliki kelebihan bila dibandingkan dengan media lain. Selain bersifat audio juga ada aspek visual, sehingga masyarakat bisa mendengar sekaligus melihat wajah dan ekspresi peran yang ditampilkan. Keunggulan film pada saat yang tepat inilah yang yang dapat kita manfaatkan sebagai momentum perubahan Indonesia menuju ke arah yang lebih baik.
Salah satu film yang mampu menyedot perhatian masyarakat pada tahun 2007 adalah film yang kami lihat dan kami ungkapkan sebelumnya, yaitu Nagabonar Jadi 2. Film yang sarat akan nilai-nilai moral, religi, kekeluargaan dan bahkan nasionalisme ini dikemas dalam sajian yang ringan, sehingga mampu diterima masyarakat tanpa mengurangi makna yang terkandung di dalamnya.
Jika dianalogikan bahwa film adalah cerminan dari masyarakat, maka seyogyanya masyarakat Indonesia mampu memaknai nasionalisme (sebagaimana yang tersirat dalam film NagabonarJadi 2) dengan bijaksana. Dengan demikian, media film akan sangat efektif sebagai suatu media untuk meningkatkan kembali nasionalisme bangsa Indonesia.
ANALISIS DAN SINTESIS
Kerapuhan Nasionalisme Bangsa Indonesia
Adalah fenomena yang tidak bisa dipungkiri bahwa terjadi degradasi rasa nasionalisme di Indonesia. Bangsa Indonesia saat ini seakan terlena dengan arus perkembangan global. Degradasi nasionalisme itu dapat dilihat dari berbagai kebudayaan Barat yang ditiru oleh masyarakat Indonesia. Kebudayaan lokal kita yang eksistensinya adalah sebagai identitas sebuah bangsa, seakan justru ditinggalkan.
Bisa dikatakan pula bahwa nasionalisme saat ini kehilangan nilainya, karena nasionalisme telah dicemari berbagai kepentingan di luar nasionalisme itu sendiri. Kenyataan yang terjadi saat ini tidak lebih dari sekedar perang argumen dalam mempertahankan eksistensi pribadi ataupun golongan dan bukan lagi demi bangsa dan negara. Hal ini bertentangan dengan bagaimana nasionalisme pada masa lalu digunakan sebagai sebuah paham untuk mewujudkan ”proyek bersama”, yakni suatu upaya untuk menyatukan an mempertahankan Nusantara setelah kemerdekaan (Nezar Patria: 2007).
Nezar juga menambahkan bahwa inilah salah satu alasan Presiden Soekarno terus mengutamakan suatu obsesi ”nation character building” setelah kemerdekaan. Dalam pikiran Bung Karno, karakter politik nasionalisme Indonesia adalah antiimperialisme, antikolonialisme, sekaligus pro-perdamaian. Tujuan nasionalisme yang diusung oleh Presiden Soekarno adalah untuk membangkitkan rasa percaya diri sebagai bangsa besar, yang sanggup menyelesaikan masalah sendiri dan, yang paling penting, rela berkorban untuk kepentingan bersama.
Sikap yang dilakukan oleh Soekarno saat itu tak lain sebagai upaya untuk terus meningkatkan nasionalisme bangsa, terlebih sebagai negara yang baru merdeka. Hal itu dirasa penting karena seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tentunya ada sisi negatif yang perlu kita waspadai dan khawatirkan bersama yaitu munculnya kaum profesional yang tidak proporsional. Jika profesionalisme tidak dilandasi dengan rasa nasionalisme yang kuat, maka tidak tertutup kemungkinan hal ini justru akan menjadi bumerang atau sumber bencana bagi negara dan bangsanya (Hari Sudewo: 2006).
Fakta lain dari kerapuhan nasionalisme Bangsa Indonesia adalah fenomena gerakan separatisme yang terjadi. Berhasil menyusupnya bendera separatisme RMS pada tarian cakalele dalam acara pembukaan Hari Keluarga Nasional ke XIV di Ambon serta gerakan aceh merdeka merupakan sebuah bukti bahwa nasionalisme masyarakat Indonesia saat ini sedang dalam kondisi yang rapuh. Nasionalisme merupakan ideologi bangsa dalam mempertahankan dan mengabadikan kesatuan negara dan separatisme bertentangan dengan konsep sebagai upaya menjaga keabadian sebuah negara untuk mencapai tujuan bersama-sama.
Konsep lain yang disampaikan oleh Anderson bahwa nasion sebagai an imagined community dapat berkembang di masyarakat. Konsep gagasan Anderson bisa berkembang di Indonesia sebagai negara yang terbentuk pascakolonial. Teori lain adalah teori Gellner (1990) yang juga memandang nasionalisme sebagai sentimen, atau sebagai gerakan. Meski Gellner dan Anderson memusatkan perhatian pada tema yang berbeda, prinsip politik dan sentimen identitas, keduanya sesungguhnya saling mendukung dan menekankan bahwa bangsa adalah sebuah konstruksi ideologi demi untuk menemukan keterkaitan antara kelompok kebudayaan (sebagaimana didefinisikan warga masyarakat yang bersangkutan) dan negara, dan mereka menciptakan komunitas abstrak (abstract communities) dari keteraturan yang berbeda dari negara dinasti atau komunitas berbasis kekerabatan yang menjadi sasaran perhatian antropologi masa lampau.
Meskipun demikian, kita tidak dapat begitu saja mengadopsi pemikiran Anderson dan Gellner tersebut karena jelas-jelas bertentangan dengan unsur urgensi dan historis di Indonesia. Pemikiran-pemikiran tersebut turut menjadi penyebab munculnya keraguan tentang pentingnya nasionalisme di Indonesia. Masuk dan berkembangnya pemikiran liberal dalam ilmu-ilmu sosial di Indonesia harus disikapi dengan lebih bijak sehingga identitas bangsa kita tidak terkikis oleh pemiran-pemikiran tersebut.
Keberadaan Film: Media Seni yang Efektif
Menyikapi berkembangnya pemikiran-pemikiran Barat yang kemungkinan bisa menggoyahkan rasa nasionalisme bangsa ini, sudah saatnya bangsa Indonesia kembali menapak tilas ke belakang untuk mencari sosok pahlawan negara ini, yang mempunyai keteguhan nasionalisme sehingga mampu mewujudkan Indonesia menjadi negara yang berhasil memerdekakan diri dari penjajahan.
Kehidupan sosok itu bisa digambarkan melalui berbagai media. Misalnya, adanya tokoh-tokoh pewayangan yang bisa diambil dari pementasan seni wayang, tokoh-tokoh kerajaan yang diceritakan kembali melalui seni drama, maupun ludruk yang berdasarkan pada sejarah. Untuk sosok yang lebih baru, kita bisa menjumpainya melalui media perfilman, yang memang menggunakan tokoh kepahlawanan sebagai latar belakang cerita film tersebut.
Film adalah media komunikasi yang merupakan perpaduan antara berbagai unsur teknologi dan seni. Perkembangan film sangat tergantung dari bagaimana masyarakat di suatu daerah atau negara mengembangkan teknologi dan kesenian mereka. Pada awal 1900-an, film dilahirkan sebagai tontonan umum dan dipandang sebagai hiburan manusia kota di masa depan. Saat ini, film telah mampu menembus seluruh lapisan masyarakat, baik lapisan menengah maupun atas, juga kalangan intelektual dan budayawan.
Perkembangan film di Indonesia mengalami pasang surut. Setelah lebih dari sepuluh tahun perfilman Indonesia mengalami mati suri sejak mengalami krisis hebat tahun 1991 akibat semakin populernya televisi yang menawarkan tayangan sinetron, film Indonesia mulai bangkit setelah munculnya film “Petualangan Sherina” dan “Ada Apa Dengan Cinta (AADC)” pada tahun 2002 yang mendapat apresiasi besar dari masyarakat. Kondisi tersebut menunjukkan kehausan masyarakat akan tontonan yang berkualitas dan menghibur, dan film adalah jawabannya. Keunggulan lain dari film adalah karena penayangannya yang sekali habis (cerita sampai selesai) dan bukan cerita bersambung. Itulah alasan masyarakat memilih film.
Berdasarkan angket penonton tahun 1988 dan 1989 di Bandung pada situs www.geocities.com, diperoleh data bahwa peminat film sebagian besar adalah masyarakat usia muda (15-35 tahun). Rentang usia tersebut adalah masa produktif ketika masyarakat lebih mudah menerima edukasi. Ditambah dengan penjelasan sebelumnya mengenai kelebihan film, jelas bahwa film adalah media yang tepat untuk mengedukasi masyarakat, terutama akan pentingnya nasionalisme, karena jiwa nasionalisme di kalangan generasi muda sekarang telah memudar.
Meskipun demikian, kondisi film selama ini belum bisa dikatakan mendidik. Film-film Indonesia yang beredar kerap didominasi oleh tema-tema percintaan dan horor yang kebanyakan berbau seks (seronok). Adegan-adegan syur seperti ciuman dan adegan “panas” lainnya digunakan para produser film untuk mendongkrak popularitas film dengan tujuan utama ingin meraup keuntungan.. Para produser berdalih ingin menggambarkan fenomena sebenarnya yang terjadi di masyarakat yang tujuannya untuk memberitahukan kepada para orang tua tentang pergaulan bebas yang terjadi di kalangan remaja sekarang ini. Namun, pada kenyataannya justru adegan ciuman bibir atau bahkan free sex menjadi semakin populer dan dianggap biasa dan wajar oleh para anak muda di negeri ini.
Ditekankan lagi bahwa film adalah media komunikasi massa yang memiliki pengaruh sangat besar dalam memberikan hiburan, edukasi, serta mempengaruhi masyarakat. Dari situlah pentingnya tayangan film yang benar-benar memberikan edukasi dengan tidak meninggalkan sisi hiburan (entertaining), film yang menampilkan budaya asli Indonesia, film yang mampu membangkitkan rasa nasionalisme bangsa, dan film-film mendidik lainnya. Sehingga dari tayangan film, kita bisa merubah kondisi bangsa Indonesia sekarang ini menjadi lebih baik di masa depan.
Film Nagabonar Jadi 2 Sebagai Sarana Pengembalian Rasa Nasionalisme Masyarakat
Film Nagabonar Jadi 2 merupakan cerita tentang seorang Nagabonar sebagai mantan pejuang kemerdekaan yang mengunjungi anaknya di Jakarta. Film yang menyedot perhatian masyarakat Indonesia ini mempunyai spesialisasi yang khas, yakni penyajian yang sederhana dan menghibur. Dengan spesialisasi ini, film Nagabonar Jadi 2 menjadi suatu media seni yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan moral, khususnya tentang rasa nasionalisme.
Aplikasi Seni yang Mudah Diterima
Pengemasan yang sederhana menjadikan film Nagabonar Jadi 2 sebagai karya sineas dalam negeri yang mudah diterima. Hal ini disebabkan karena masyarakat dapat menerima kehadiran film tersebut tanpa adanya barbagai pertimbangan; dengan harapan mampu mengartikan film tersebut menjadi bagian dari kehidupan masyarakat itu sendiri.
Film adalah sebuah cerminan dari masyarakat. Keberadaan film karya anak bangsa yang bercerita tentang bangsa kita sendiri harus tetap dipertahankan dan terus dikembangkan agar fil-film tersebut dapat memberikan pengaruh tentang pesan moralnya yang mampu membentuk masyarakat yamg mempunyai nasionalisme yang besar.
Beberapa alasan menjadi pertimbangan diterimanya film Nagabonar Jadi 2 oleh masyarakat adalah, yang pertama, dilihat dari segi penyajian cerita. Nagabonar Jadi 2 memiliki alur cerita yang sederhana dan tidak berbelit-belit sehingga masyarakat lebih mudah menyerap nilai-nilai yang disampaikan. Selain itu, film yang penuh nilai pesan moral ini dikemas dalam bentuk yang lucu dan mampu memainkan emosi penonton. Adanya unsur humor ini, sebagai upaya penyesuaian selera masyarakat, sehingga menjadi media seni yang menghibur tetapi mampu memberikan dampak yang membangun.
Yang kedua, film ini dengan jenius mengangkat tema yang memang selalu laris karena dekat dengan masyarakat, yaitu tentang cinta. Tiga bentuk cinta yang dihadirkan dalam film ini adalah cinta kepada sesama dan cinta kepada keluarga, serta cinta kepada tanah air.
Muatan Pesan Nasionalime Pada Film Nagabonar
Film Nagabonar Jadi 2 memiliki banyak pesan moral, khususnya tentang rasa nasionalisme. Film ini menunjukkan perbandingan nasionalisme pada zaman Indonesia dulu (ketika zaman perang kemerdekaan) dengan situasi kehidupan saat ini. Pesan-pesan tersebut dapat dijumpai dari mulai awal cerita hingga akhir, baik lewat adegan-adegannya, maupun tokoh-tokohnya.
Adegan pertama adalah dialog antara Nagabonar dengan salah satu teman anaknya yang ingin membuat rancangan sebuah tempat peristirahatan (resort). Dalam adegan ini Nagabonar bersikeras mengusulkan adanya lapangan sepakbola di dalam peristirahatan itu. Dalam adegan ini secara implisit Nagabonar ingin menyampaikan bahwa rasa nasionalisme tidak hanya diekspresikan melalui peperangan.
Adegan kedua adalah kepergian Nagabonar untuk melihat patung Soekarno:
“… kalau kau hidup pada zaman itu (perang kemerdekaan 1945) dan hari ini kau berdiri di depan mereka (Soekarno dan Moh. Hatta), walau Cuma patungnya, jantun kau akan berdegup cepat. Tidak bisa tidak kau akan hormat kepada mereka…bahkan seorang pencopet pun akan tergetar hatinya, berdegup jantungnya mendengar suaranya…” ungkap Nagabonar.
Sesaat kemudian ia menaikkan tangannya dan memberikan hormat pada patung Soekarno. Setelah itu ia melihat sekitarnya dan tak seorang pun mengikuti apa yang ia lakukan. Bahkan seorang anak kecil digambarkan terlihat heran dan menganggap aneh Nagabonar. Adegan ini sebenarnya adalah analogi kecil dari sesuatu yang lebih besar, yaitu perbandingan kondisi nasionalisme dulu dan sekarang. Nagabonar secara eksplisit mengatakan bahwa ia begitu menghargai pahlawan yang telah berjuang untuk kepentingan bangsa. Di saat yang sama ekspresinya secara implisit menyatakan keprihatinannya terhadap generasi muda saat ini yang mulai melupakan jasa-jasa para pahlawan. Adegan anak kecil tadi dapat dianalogikan dengan kondisi generasi penerus bangsa yang cenderung bersikap apatis terhadap nilai-nilai nasionalisme.
Adegan selanjutnya adalah pecakapan antara Nagabonar dengan seorang supir bajaj yang bernama Umar. Nagabonar menyampaikan kritikan kecilnya tentang mengapa patung pahlawan saat ini kebanyakan berasal dari pulau Jawa. Adegan ini sangat menarik dan memiliki fungsi besar untuk menyadarkan masyarakat tentang salah satu alasan besar terjadinya degradasi rasa nasionalisme, terutama bagi masyarakat di luar pulau Jawa. Tak dapat kita pungkiri bahwa gerakan-gerakan separatis yang selama ini terjadi di Aceh, Maluku, Irian Jaya, serta di berbagai tempat lain dipicu oleh ketidakpuasan mereka terhadap pemerintah Indonesia yang masih bersikap tidak adil. Ketidakadilan ini tercermin oleh tidak meratanya pembangunan dan pendidikan. Film ini ingin menunjukkan bahwa pemerintah saat ini masih belum mampu berlaku adil dalam banyak hal, yang salah satunya adalah dalam pengungkapan sejarah, bila ketidakadilan ini tidak segera diatasi, maka nasionalisme masyarakat akan semakin terancam dan dapat berujung pada runtuhnya Indonesia secara keseluruhan.
Pesan yang paling menonjol terdapat pada adegan Nagabonar bergelantungan di patung Jendral Soedirman dan hormat di kompleks Tugu Proklamasi. Dalam petikannya, terdapat pesan yang secara eksplisit dari percakapan Nagabonar:
“Jendraaal (Jendral Soedirman), turunkan tanganmu. Siapa yang kau hormati siang dan malam itu? Apa karena mereka yang lalu lalang di depanmu memakai roda empat, Jendral? Bah, tidak semua dari mereka pantas kau hormati, Jendral. Turunkan Tanganmu!”
Pada saat itu Nagabonar dengan segala keluguan dan kecintaannya pada bangsanya memanjat patung itu dan berusaha menurunkan tangan patung jenderal Sudirman. Adegan ini merupakan kritik besar bagi generasi saat ini. Kalimat-kalimat nagabonar di atas seolah menyadarkan kita bahwa dulu para pahlawan kita telah memberikan cinta, pengorbanan, serta penghormatan tertinggi pada tanah air kita demi kelanjutan bangsa ini di tangan generasi penerusnya. Namun yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Kebutuhan materi untuk kepentingan individu dan golongan, yang dalam hal ini dianalogikan lewat mobil-mobil beroda empat, telah mengalahkan paham nasionalisme yang mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan lain. Inilah yang menjadi alasan banyaknya koruptor di negeri kita. Mereka menomorsekiankan kepentingan bangsa atas nama materi.
Selanjutnya, film Nagabonar Jadi 2 juga memberikan sindiran langsung melalui sebuah adegan percakapan Bonaga dan seorang relasinya. Saat itu Bonaga yang merasa telah dididik oleh seorang pahlawan menentang mentah-mentah tindakan relasinya tersebut untuk menegosiasikan penurunan pajak yang harus dibayar oleh perusahaan mereka. Adegan ini merupakan sebuah bentuk pengabdian lain yang sangat sesuai untuk mengekspresikan sikap nasionalisme saat ini. Membayar pajak juga merupakan bentuk itikad mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan individu maupun golongan. Di adegan-adegan penutupan pun penanaman rasa nasionalisme terus dilakukan oleh film ini, yakni melalui adegan upacara bendera di suatu kampung. Saat itu, di tengah pengibaran bendera, tali bendera tersebut tersangkut sebelum Merah Putih mencapai puncaknya. Ketika orang-orang mulai menepi untuk menghindari terik matahari, Nagabonar tetap tegak di posisinya. Tangannya masih terangkat dengan keteguhan luar biasa. Ketika tubuh Nagabonar tak sanggup lagi bertahan dan mulai limbung, dia berkata kepada anak-anak di sekitarnya: ”Tegakkan badanku! Aku ingin melihat Merah Putih berkibar di puncaknya…” Secara eksplisit adegan ini berusaha menggugah dan meningkatkan kembali rasa nasionalisme para penonton. Selain adegan-adegan diatas, masih banyak pesan moral berupa nasionalisme yang disuguhkan di film ini.
Meskipun demikian, film Nagabonar tidak hanya berhenti pada penciptaan adegan yang sarat moral. Penciptaan karakter-karakter dalam film ini juga banyak yang mendukung kentalnya film ini dengan nuansa kebangsaan. Salah satunya dengan ikon Nagabonar sendiri yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi dan mencintai budaya.
Film yang Seharusnya Beredar
Melihat kondisi perfilman saat ini, sebenarnya banyak film-film yang mengandung banyak pesan moral. Namun sayang sekali hal ini menyebabkan film-film tersebut menjadi kaku dan mengesampingkan unsur hiburan. Hal ini menyebabkan masyarakat, yang notabene penikmat seni sebagai pelepas penat dari kehidupan nyata yang jauh lebih berat, memilih meninggalkan film-film seperti ini karena dinilai hanya menambah beban perenungan. Akhirnya seperti yang dapat kita saksikan saat ini masyarakat kita lebih menggemari film-film yang ringan dengan pesan moral yang tipis dan dibumbui adegan-adegan vulgar.
Dalam kondisi seperti ini, film Nagabonar jadi 2 menjadi sebuah kasus anomali. Film ini dengan kejeniusan pengemasannya telah sukses membawa pesan moral yang berat berupa nasionalisme. Film yang mampu mengawinkan unsur estetika, hiburan, serta pesan moral berupa nasionalisme seperti pada film Nagabonar Jadi 2 inilah yang diharapkan untuk lebih intens dalam pembuatan dan pemutarannya.
Berdasarkan penjelasan di atas, pemerintah dan para sineas perfilman Indonesia diharapkan mampu memaksimalkan kerjasama untuk pembangunan Negara dengan menciptakan karya film yang berkualitas. Berkualitas tidak hanya dari sisi hiburan, melainkan juga mempunyai nilai-nilai moral yang mampu diambil oleh masyarakat Indonesia.
Dengan sinergi yang begitu baik antara unsur seni yang menghibur dan pesan moral yang disampaikan, film memiliki peran besar untuk menyelamatkan bangsa. Dengan beredarnya film-film seperti ini, masyarakat akan terbuka pemikirannya, bahwa rasa nasionalisme sangat penting bagi bangsa kita dan nasionalisme dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan.
BIBLIOGRAPHY
Agusta, J. 2007. Separatisme, Nasionalisme NKRI Diragukan. http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=3812 [20 Mei 2008]
Amir, S. Penyegaran Kembali Nasionalisme. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0411/03/Bentara/1363295.htm [20 Mei 2008]
Anderson, B. 2001. Imagined Communities. Yogyakarta: Insist.
Aprilianto, E. Membangun Moral Nasionalisme dalam Era Modern Masyarakat Indonesia. http://echagain.multiply.com/journal/item/3/Membangun_Moral_Nasionalisme_Dalam_Era_Modern_Masyarakat_Indonesia [15 Mei 2008]
Biro Administrasi Akademik, Perencanaan, dan Sistem Informasi UM. 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Laporan Penelitian,Edisi Keempat. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang
Damono, S. D. dan Sedyawati, E. (eds). 1991. Seni dalam Masyarakat Indonesia: Bunga Rampai. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Darma, B. 2003. Pemuda Dulu dan Sekarang. http://www.d-infokom-jatim.go.id/news_pot.php?id=9&t= [20 Mei 2008]
Dault, A. Nasionalisme, Transisi Demokrasi Indonesia dan Krisis Multidimensi. http://tumoutou.net/702_07134/adhyaksa_dault.htm [ 15 Mei 2008]
Departemen pertahanan RI. 2007. Penyegaran Kembali Nasioanlisme. http://www.dephan.go.id/modules.php?name=Feedback&op=viewarticle&opid=1390 [20 Mei 2008]