POLIMER PATI TAPIOKA
POLIMER PATI TAPIOKA SEBAGAI TEROBOSAN BARU EDIBLE PACKAGING MAKANAN YANG HIGIENIS DAN RAMAH LINGKUNGAN
M. Suba’I, Alfagari, Aditya
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang
Jl. Surabaya No. 6 Malang
Abstrak: Perkembangan teknologi mempengaruhi variasi bentuk dan teknologi pengemasan sebagai salah satu cara melindungi dan memperpanjang umur simpan hasil pertanian. Kini, penggunaan plastik sebagai bahan kemasan meningkat. Faktanya, kemasan sintetik ini justru dapat merusak kesehatan dan lingkungan. Karena itu, digunakanlah edible packaging sebagai kemasan alternatif. Edible packaging dibuat dari komponen berbahan dasar polisakarida pati sehingga pemanfaatan pati tapioka berpotensi menurunkan biaya produksi. Umumnya, pembuatan edible packaging melalui proses pelarutan, pemanasan, pencetakan, pendinginan, pengeringan dan penyimpanan. Potensi edible packaging sebagai kemasan primer, barrier, pengikat, dan pelapis diharapkan dapat mendorong penemuan bahan dasar lain untuk meningkatkan kualitas edible packaging sekaligus mengurangi masalah lingkungan.
Kata kunci: Pengemasan, Edible Packaging, Polimer Pati Tapioka
Pengemasan disebut juga pembungkusan, pewadahan atau pengepakan merupakan salah satu cara pengawetan bahan hasil pertanian, karena pengemasan dapat memperpanjang umur simpan bahan. Fungsi paling mendasar dari kemasan adalah untuk mewadahi dan melindungi produk dari kerusakan, sehingga lebih mudah disimpan, diangkut, dan dipasarkan. Secara umum, fungsi pengemasan pada bahan pangan adalah mewadahi produk selama distribusi dari produsen hingga ke konsumen, melindungi dan mengawetkan produk, sebagai identitas produk, meningkatkan efisiensi, memperluas pemakaian dan pemasaran produk, menambah daya tarik produk terhadap calon pembeli, sarana informasi dan iklan, dan memberi kenyamanan bagi pemakai produk.
Sebagai wadah, kemasan berfungsi agar produk tidak tercecer, terutama untuk cairan, pasta atau butiran. Sebagai pelindung, kemasan berfungsi melindungi dari sinar ultraviolet, panas, kelembapan udara, oksigen, benturan, serta kontaminasi dari kotoran dan mikroba yang dapat merusak dan menurunkan mutu produk. Selain itu, kemasan dapat berfungsi untuk mempermudah perhitungan dan penyimpanan sehingga pemasaran produk dapat menjangkau area yang lebih luas.
Fungsi kemasan terus meningkat seiring meningkatnya persaingan dalam industri pangan. Belakangan, fungsi sekunder ini justru lebih menonjol dalam upaya menarik perhatian calon pembeli. Untuk itu desain kemasan cenderung memiliki multi warna dan mengkilat sehingga menarik dan berkesan mewah serta bentuk yang memudahkan pemakaian produk. Semua ini dilakukan untuk mengesankan isi kemasan adalah produk bermutu dan mahal. Tak lupa, desain kemasan ini juga sangat mutakhir agar terkesan mengikuti perkembangan jaman.
Disamping fungsi-fungsi di atas, kemasan juga mempunyai peranan khusus bagi produsen, pemerintah, dan konsumen. Bagi produsen, kemasan berfungsi sebagai piranti monitor, media promosi, dan media penyuluhan atau petunjuk cara penggunaan dan manfaat produk yang ada di dalamnya. Sedangkan bagi pemerintah, kemasan dapat digunakan sebagai usaha perlindungan konsumen. Untuk konsumen sendiri, kemasan seringkali digunakan sebagai sumber informasi tentang isi produk, hal ini sangat penting dalam rangka pengambilan keputusan untuk membeli produk tersebut atau tidak.
Kemasan juga mempunyai sisi hitam karena sering disalahgunakan oleh produsen untuk menutupi kekurangan mutu atau kerusakan produk, mempropagandakan produk secara tidak proporsional atau menyesatkan sehingga menjurus kepada peniuan atau pemalsuan. Pengemasan bahan pangan juga dapat menambah biaya produksi, dan ada kalanya biaya kemasan dapat jauh lebih tinggi dari harga isinya.
Untuk produk yang dikonsumsi oleh kelompok konsumen yang mengutamakan pelayanan, maka hal tersebut tidak jadi masalah, akan tetapi untuk produk-produk yang dikonsumsi oleh masyarakat umum maka biaya pengemasan yang tinggi perlu dihindari. Setidaknya biaya pengemasan utama cukup sekitar 10-15% dari biaya produk dan biaya kemasan tambahan hanya sekitar 5-15% dari biaya produk.
Seiring perkembangan teknologi, bentuk dan teknologi kemasan juga meningkat dan bervariasi. Sekarang minuman teh dalam kantong plastic dan nasi bungkus dalam daun pisang sudah berkembang menjadi kotak kotak katering sampai minuman anggur dalam botol dan kemasan yang cantik berpita merah. Variasi kemasan nampak dari munculnya kemasan botol, kaleng, tetrapak, corrugated box, kemasan vakum, kemasan aseptik, kaleng bertekanan, kemasan tabung hingga kemasan aktif dan pintar (active and intelligent packaging) yang dapat menyesuaikan kondisi lingkungan di dalam kemasan dengan kebutuhan produk dalam kemasan tersebut.
Susunan konstruksi kemasan juga semakin kompleks dari tingkat primer, sekunder, tertier sampai konstruksi yang tidak dapat lagi dipisahkan antara fungsinya sebagai pengemas atau sebagai unit penyimpanan, misalnya pada peti kemas yang dilengkapi dengan pendingin (refrigerated container) berisi udang beku untuk ekspor. Industri bahan kemasan di Indonesia juga sudah semakin banyak, seperti industri penghasil kemasan karton, kemasan gelas, kemasan plastik, kemasan laminasi yang produknya sudah mengisi kebutuhan masyarakat dan dunia industri. Di samping itu hingga saat ini di pedesaan masih banyak dijumpai masyarakat yang hidup dari bahan pengemas tradisional, seperti penjual daun pembungkus (daun pisang, daun jati, daun waru dan sebagainya), atau untuk tingkat industri rumah tangga terdapat pengrajin industri keranjang besek, kotak kayu, anyaman serat, wadah dari tembikar dan lain-lain.
Saat ini, ada banyak jenis bahan yang digunakan untuk mengemas makanan diantaranya adalah berbagai jenis plastik, kertas, fibreboard, gelas, tinplate dan aluminium (Syamsir, E. 2008). Berdasarkan bahan dasar pembuatannya maka jenis kemasan pangan yang tersedia saat ini adalah kemasan kertas, gelas, kaleng/logam, plastik dan kemasan komposit atau kemasan yang merupakan gabungan dari beberapa jenis bahan kemasan, misalnya gabungan antara kertas dan plastik atau plastik, kertas dan logam. Masing-masing jenis bahan kemasan ini mempunyai karakteristik tersendiri, dan ini menjadi dasar untuk pemilihan jenis kemasan yang sesuai untuk produk pangan.
Kemasan kertas memiliki sifat tidak mudah robek dan fleksibel, sayangnya kemasan kertas tidak dapat digunakan untuk mengemas produk cair dan tidak dapat dipanaskan. Berbeda halnya dengan kemasan kaca dan logam, kemasan gelas dan logam mampu mengemas produk cair serta tahan panas. Tapi, kemasan gelas dan nlogam juga memiliki kekurangan. Kemasan gelas cenderung berat, mudah pecah, tidak fleksibel, mahal, dan non biodegradable walaupun dapat didaur ulang. Sedangkan kemasan logam, walaupun relatif ringan logam dapat mengkontaminasi bahan pangan serta sulit didaur ulang.
Bahan lain yang seringkali digunakan untuk membuat kemasan adalah komposit dan plastik. Komposit bersifat lebih kuat dari kertas dan dibuat khusus untuk produk cair. Namun, bahan kemasan ini juga termasuk bahan non biodegradable.
Plastik memiliki keistimewaan tersendiri sebagai bahan kemasan. Belakangan ini, intensitas penggunaan plastik sebagai kemasan pangan makin meningkat. Hal ini disebabkan oleh banyaknya keunggulan plastik dibandingkan bahan kemasan yang lain. Plastik jauh lebih ringan dibandingkan gelas atau logam dan tidak mudah pecah. Bahan ini juga dapat dibentuk lembaran dan dapat pula dibuat kantong atau dibuat kaku sehingga bisa dibentuk dengan desain dan ukuran sesuai keinginan.
Namun, pemanfaatan plastik sebagai bahan pengemas ternyata juga menimbulkan berbagai persoalan lingkungan. Kelemahan utamanya adalah plastik tidak dapat didaur ulang dan diuraikan secara alami oleh mikroba di dalam tanah, sehingga menimbulkan penumpukan sampah plastik yang menyebabkan pencemaran dan kerusakan bagi lingkungan. Sampah plastik rata-rata memiliki porsi sekitar 10 persen dari total volume sampah. Dari jumlah itu, sangat sedikit yang didaur ulang. Butuh 300-500 tahun agar bisa terdekomposisi atau terurai sempurna. Membakar plastik pun bukan pilihan baik, pembakaran plastic secara tidak sempurna, di bawah 800 oC, akan membentuk dioksin. Senyawa inilah yang berbahaya (Vedder, T. 2008). Selain itu, perihal pembuatan plastik pun juga menyisakan masalah, minyak bumi sebagai bahan utama pembuatan plastik merupakan sumber daya alam tidak dapat diperbaharui dan keberadaannya di alam pun semakin menipis.
Berdasar uraian di atas, telah dipaparkan bahwa saat ini suatu produk pangan tak mungkin dilepaskan dari kemasannya. Untuk itu, interaksi antara produk pangan dengan kemasannya harus kita perhatikan. Sebagian besar produk pangan berinteraksi dengan kemasannya pada intensitas yang berbeda. Migrasi atau perpindahan bahan kimia baik dari monomer, polimer atau aditif kemasan, merupakan salah satu mekanisme yang digunakan untuk menjelaskan interaksi antara kemasan dengan produk terkemas. Faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi komponen kemasan ke dalam produk adalah jenis dan konsentrasi komponen kemasan, karakteristik pangan yang dikemas serta suhu, waktu penyimpanan dan parameter lingkungan lainnya. Iteraksi produk pangan dengan kemasannya inilah yang terkadang dapat menimbulkan penyimpangan mutu.
Penyimpangan mutu adalah penyusutan kualitatif dimana bahan mangalami penurunan mutu sehingga menjadi tidak layak dikonsumsi manusia. Bahan pangan yang rusak mengalami perubahan cita rasa, penurunan nilai gizi atau tidak aman lagi untuk dimakan karena dapat mengganggu kesehatan. Kondisi ini seringkali disebabkan karena makanan sudah kadaluarsa atau melewati masa simpan (shelf life).
Penyusutan kuantitatif mengakibatkan bahan pangan kehilangan jumlah atau bobot hasil pertanian, dan ini disebabkan oleh penanganan yang kurang baik atau karena gangguan biologi (proses fisiologi, serangan serangga dan tikus). Susut kuantitatif dan susut kualitatif ini penting dalam pengemasan, dan susut kualitatif lebih penting dari susut kuantitatif.
Pengemasan mempengaruhi mutu pangan antara lain melalui perubahan fisik dan kimia karena migrasi zat-zat kimia dari bahan kemas (monomer plastik, timah putih, korosi), serta perubahan aroma (flavor), warna, tekstur dipengaruhi oleh perpindahan uap air dan O2. Bahan pangan dalam kemasan mengalami perubahan-perubahan selama penyimpanan, dan perubahan ini dapat terjadi baik pada bahan pangan segar maupun pada bahan pangan yang sudah mengalami pengolahan. Perubahan-perubahan yang terjadi dapat berupa perubahan biokimia, kimia atau migrasi unsur-unsur ke dalam bahan pangan.
Bahan-bahan pangan segar (belum terolah) misalnya biji-bijian, sayuran, buah-buahan, daging dan susu akan mengalami perubahan biokimia setelah bahan-bahan ini dipanen atau dipisahkan dari induknya. Bahan-bahan segar ini umumnya mengandung air yang cukup tinggi sehingga memungkinkan adanya akifitas enzim dan menyebabkan terjadinya perubahan warna, tekstur, aroma dan nilai gizi bahan. Contoh perubahan biokimiawi yang terjadi pada bahan pangan adalah pencoklatan pada buah yang memar atau terkupas kulitnya, atau daging segar yang berubah warna menjadi hijau dan berbau busuk.
Perubahan kimiawi yang terjadi pada bahan pangan disebabkan oleh penggunaan anioksidan, fungisida, plastisizer, bahan pewarna dan pestisida yang dapat bermigrasi ke dalam bahan pangan. Pengemasan dapat mecegah terjadinya migrasi bahan-bahan ini ke dalam bahan pangan.
Logam-logam seperti timah, besi, timbal dan alumunium dalam jumlah yang besar akan bersifat racun dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Wadah dan mesin pengolahan yan telah mengalami korosi dapat menyebabkan pencemaran logam ke dalam bahan pangan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya korosif adalah asam organik, nitrat, oxidizing agent, atau bahan pereduksi, penyimpanan, suhu, kelembaban dan ada tidaknya bahan pelapis (enamel). Keracunan yang diakibatkan logam-logam ini dapat berupa keracunan ringan atau berat seperti mual-mual, muntah, pusing dan keluarnya keringat dingin yang berlebihan.
Terjadinya migrasi komponen kemasan ke dalam produk terkemas akan menjadi masalah jika komponen tersebut membahayakan kesehatan konsumen. Beberapa kejadian migrasi komponen kemasan ke dalam produk mungkin tidak membahayakan kesehatan konsumen tetapi menyebabkan efek negatif pada produk seperti terjadinya penyimpangan bau dan rasa. Hal ini dapat menurunkan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk.
Plastik dan bahan-bahan tambahan dalam pembuatan plastik plastisizer, stabilizer dan antioksidan dapat bermigrasi ke dalam bahan pangan yang dikemas dengan kemasan plastik dan mengakibatkan keracunan. Monomer plastik yang dicurigai berbahaya bagi kesehatan manusia adalah vinil klorida, akrilonitril, metacrylonitril, vinilidenklorida dan styrene.
Monomer vinil klorida dan akrilonitril berpotensi untuk menyebabkan kanker pada manusia. Vinil asetat dapat menimbulkan kanker tiroid, uterus dan hati pada hewan. Vinil klorida dan vinil sianida bersifat mutagenik terhadap mikroba Salmonella typhimurium. Akrilonitril dapat membuat cacat lahir pada tikus-tikus yang memakannya. Monomer akrilat, stirena dan metakrilat serta senyawa turunannya seperti vinil asetat, polivinil klorida (PVC), kaprolaktan, formaldehida, kresol, isosianat oragnik, heksa-metilendiamin, melamin, epidiklorohidrin, bispenol dan akrilonitril dapat menyebabkan iritasi pada saluran pencernaan terutama mulut, tenggorokan dan lambung. Plastisizer seperti ester posporik, ester ptalik, glikolik, chlorinated aromatik dan ester asam adipatik dapat menyebabkan iritasi.
Penelitian yang dilakukan oleh (Nerin 2002) mengungkapkan bahwa sebagian besar plastik mengalami peningkatan suhu sampai sekitar 90oC dan beberapa akan mencapai suhu lebih dari 180oC jika dipanaskan di dalam oven microwave selama 5 menit. Dalam kondisi ini, plastik yang dipanaskan juga terdeteksi membentuk komponen volatil dan semivolatil yang bisa bermigrasi ke dalam makanan. Pemanasan plastik bisa terjadi dalam bentuk pellet atau sebagai kemasan. Pellet mungkin mengalami pemanasan selama proses pencetakan. Diketahui bahwa pemanasan sampel pellet menghasilkan metil-benzene, etil-benzene, 1-ktena dan styrene. Sementara wadah kemasan yang dipanaskan selain mengandung 4 komponen ini juga mengandung xylene dan 1,4-diklorobenzen. Semua komponen ini bersifat toksik dan harus dibatasi keberadaan dalam bahan pangan. Wadah kemasan plastik penting menjadi perhatian karena kandungan komponen toksik, terutama metil-benzen, sangat tinggi sehingga sebaiknya tidak digunakan sebagai kemasan untuk masakan panas atau yang akan dipanaskan bersama dengan kemasannya. Sehingga, sangat penting untuk menjamin bahwa pemanasan plastik kemasan tidak akan membentuk komponen lain atau komponen yang dihasilkan tidak masuk ke dalam fase uap atau ke dalam pangan yang dikemasnya.
Bahan kemasan seperti logam, gelas dan plastik merupakan penghalang yang baik untuk masuknya mikroorganisme ke dalam bahan yang dikemas, tetapi penutup kemasan merupakan sumber utama dari kontaminasi. Kemasan yang dilipat atau dijepret atau hanya dilapisi ganda merupakan penutup kemasan yang tidak baik. Penyebab kontaminasi mikroorganisme pada bahan pangan adalah kontaminasi dari udara atau air melalui lubang pada kemasan yang ditutup secara hermetic, penutupan (proses sealer) yang tidak sempurna, panas yang digunakan dalam proses sealer pada film plastik tidak cukup karena sealer yang terkontaminasi oleh produk atau pengaturan suhu yang tidak baik, serta kerusakan seperti sobek atau terlipat pada bahan kemasan.
Kemasan bahan pangan sangat mempengaruhi sterilitas atau keawetan dari bahan pangan yang sudah disterilisasi, diiradiasi atau dipanaskan dengan pemanasan ohmic. Permeabilitas kemasan terhadap gas akan mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme, terutama terhadap mikroorganisme yang anaerob patogen.
Untuk melindungi bahan pangan yang dikemas terhadap kontaminasi mikroorganisme, maka perlu dipilih jenis kemasan yang dapat melindungi bahan dari serangan mikroorganisme. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih jenis kemasan yang baik untuk mencegah kontaminasi mikroba antara lain sifat perlindungannya terhadap produk dari masuknya mikroorganisme dari luar kemasan ke dalam produk, kemungkinan berkembang biaknya mikroorganisme di ruangan antara produk dengan tutup, serta serangan mikroorganisme terhadap bahan pengemas.
Faktor-faktor mekanis juga dapat merusak bahan-bahan hasil pertanian segar dan bahan pangan olahan. Stress atau tekanan fisik seperti gesekan, tekanan, bahkan jatuh dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan. Vibrasi (getaran) juga dapat mengakibatkan kerusakan pada bahan atau kemasan selama dalam perjalanan atau distribusi. Karena itu, jenis perlindungan yang diberikan kepada bahan pangan atau kemasan bahan pangan untuk mencegah kerusakan mekanis tergantung dari model, jumlah tumpukan barang atau kemasan, jenis transportasi (darat, laut atau udara), dan jenis barang. Kemampuan kemasan untuk melindungi bahan yang dikemasnya dari kerusakan mekanis tergantung pada kemampuannya menahan tekanan akibat tumpukan di gudang atau pada alat transportasi, gesekan dengan alat selama penanganan, pecah atau patah akibat tubrukan selama penanganan, serta getaran selama transportasi.
Beberapa bahan pangan misalnya buah-buahan yang segar, telur dan biskuit merupakan produk yang sangat mudah rusak dan memerlukan tingkat perlindungan lebih tinggi untuk mencegah gesekan antara bahan. Untuk masalah ini seringkali digunakan kertas tissue, lembaran plastik, kertas yang dibentuk sebagai kemasan individu (misalnya karton untuk telur, wadah buah dan lain-lain). Bahan-bahan pangan lain, dilindungi dengan cara mengemasnya dengan kemasan yang kaku dan pergerakannya dibatasi dengan dengan kemasan plastik shrink film yang dapat mengemas produk dengan ketat. Peti kayu atau drum logam merupakan kemasan dengan perlindungan mekanis yang baik Kemasan ini sekarang sudah digantikan dengan bahan komposit yang lebih murah yang terbuat dari kotak serat (fiberboard) dan polipropilen.
Kehilangan air atau peningkatan kadar air merupakan faktor yang penting dalam penentuan masa simpan dari produk pangan. Kemasan memberikan kondisi mikroklimat bagi bahan yang dikemasnya, dan kondisi ini ditentukan oleh tekanan uap air dari bahan pangan pada suhu penyimpanan dan permeabilitas kemasan. Pengendalian kadar air pada kemasan dan bahan pangan dapat mencegah kerusakan oleh mikroorganisme dan enzim, menurunnya nilai penampilan (tekstur) mikroba atau mencegah freezer burn pada bahan pangan beku.
Bahan pangan yang mempunyai keseimbangan kelembaban relatif (RH) yang rendah, seperti makanan kering, biskuit dan snack, membutuhkan kemasan dengan permeabilitas terhadap air yang rendah agar tidak kehilangan kerenyahannya. Jika nilai aktivitas air dari bahan meningkat sehingga sesuai dengan tingat aw yang dibutuhkan oleh mikroba, maka mikroba akan tumbuh dan bahan menjadi rusak. Kemasan juga harus dapat mencegah masuknya warna dari plastisizer, tinta pencetak kemasan, perekat atau pelarut yang digunakan dalam pembuatan kemasan.
Kemasan gelas dan logam kedap terhadap gas dan uap, sedangkan film plastik mempunyai kisaran permeabilitas yang luas tergantung pada ketebalan, komposisi kimia serta struktur dan orientasi molekul di dalam film plastik. Bau yang berasal dari kemasan plastik dapat timbul dari pembentukan gugus karbonil apabila plastik polietilen dipanaskan pada suhu tinggi, zat antioksidan yang dapat mengadakan interaksi dan membentuk produk yang berbau, serta pecahan-pecahan molekul pada kemasan. Oksigen dapat menyebabkan terjadinya proses oksidasi yang tidak diinginkan bagi produk-produk yang peka terhadap oksigen seperti vitamin A dan C.
Pengendalian suhu penyimpanan merupakan hal penting untuk dapat menjaga bahan pangan dari perubahan suhu. Jika kemasan diapakai untuk mengemas produk yang akan dipanaskan dalam kemasan seperti sterilisasi dalam kemasan atau makanan siap saji yang dipanaskan di dalam microwave, maka kemasan yang digunakan harus tahan terhadap suhu tinggi. Pengaruh insulasi dari kemasan ditentukan oleh konduktivitas panas dan reflektivitas kemasan. Bahan kemasan dengan konduktivitas panas rendah seperti kotak karton, polystirene atau poliuretan akan mengurangi pindah panas konduksi, dan bahan kemasan reflektif seperti alumunium foil akan merefleksikan panas.
Transmisi cahaya ke dalam kemasan kadang kala dibutuhkan agar kita dapat melihat isi dari kemasan tersebut. Tetapi untuk produk-produk yang sensistif terhadap cahaya, misalnya lemak yang akan mengalami oksidasi dengan adanya cahaya atau kerusakan riboflavin dan pigmen alami, maka harus digunakan kemasan yang opaq (berwarna gelap) sehingga tidak dapat dilalui oleh cahaya. Jumlah cahaya yang dapat diserap atau ditransmisikan tergantung pada bahan kemasan, panjang gelombang dan lamanya terpapar oleh cahaya. Beberapa bahan kemasan seperti polietilen densitas rendah (LDPE) mentransmisikan cahaya tampak (visible) dan ultraviolet, sedangkan kemasan polivinil klorida (PVC) mentransmisikan cahaya tampak tapi cahaya ultraviolet akan diabsorbsi. Perubahan yang terjadi akibat cahaya antara lain pemudaran warna, seperti pada daging dan saus tomat, ketengikan pada mentega (terutama jika terdapat katalis Cu), pencoklatan pada anggur dan jus buah-buahan, perubahan bau dan menurunnya kandungan vitamin A,D,E,K dan C.
Plastisizer yang aman untuk kemasan bahan pangan adalah heptil ptalat, dioktil adipat, dimetil heptil adipat, di-N-desil adipat, benzil aktil adipat, ester dari asam sitrat, oleat dan sitrat. Stabilizer yang aman digunakan adalah garam-garam kalsium, magnesium dan natrium, sedangkan antioksidan jarang digunakan karena bersifat karsinogenik.
Seiring dengan kesadaran manusia akan pentingnya kemasan berikut permasalahan yang berkaitan dengannya, maka penelitian bahan kemasan diarahkan pada bahan-bahan organik yang dapat dihancurkan secara alami dan mudah diperoleh. Kemasan ini disebut dengan kemasan masa depan (future packaging). Sifat-sifat kemasan masa depan diharapkan mempunyai bentuk yang fleksibel namun kuat, transparan, tidak berbau, tidak mengkontaminasi bahan yang dikemas dan tidak beracun, tahan panas, biodegradable dan berasal dari bahan-bahan yang terbarukan. Bahan-bahan ini berupa bahan-bahan hasil pertanian seperti karbohidrat, protein dan lemak.
Seperti kemasan lain pada umumnya, pemilihan jenis kemasan ini harus sesuai untuk bahan pangan, harus mempertimbangkan syarat-syarat kemasan yang baik untuk produk tersebut, juga karakteristik produk yang akan dikemas. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu kemasan agar dapat berfungsi dengan baik adalah harus dapat melindungi produk dari kotoran dan kontaminasi sehingga produk tetap bersih, dapat melindungi dari kerusakan fisik, perubahan kadar air , gas, dan penyinaran (cahaya), mudah untuk dibuka/ditutup, mudah ditangani serta mudah dalam pengangkutan dan distribusi, efisien dan ekonomis khususnya selama proses pengisian produk ke dalam kemasan, harus mempunyai ukuran, bentuk dan bobot yang sesuai dengan norma atau standar yang ada, mudah dibuang dan mudah dibentuk atau dicetak, dapat menunjukkan identitas, informasi dan penampilan produk secara jelas hingga dapat membantu promosi atau penjualan.
Pemilihan jenis kemasan untuk produk pangan ini juga harus memperhatikan preferensi konsumen yang semakin tinggi tuntutannya. Misalnya kemasan kecap yang tersedia di pasar adalah kemasan botol gelas, botol plastik dan kemasan sachet, minuman juice buah yang tersedia dalam kemasan karton laminasi atau gelas palstik, serta makanan siap saji yang dikemas dapat langsung dimasukkan ke oven tanpa harus memindahkan ke wadah lain dan single serve packaging yang sangat praktis. Adanya variasi kemasan ini member kesempatan bagi konsumen untuk bebas memilih sehingga masing-masing jenis kemasan akan mempunyai konsumennya sendiri.
Karena itulah saat ini penelitian bahan kemasan diarahkan pada bahan-bahan organik, yang dapat dihancurkan secara alami dan mudah diperoleh. Seperti telah diungkapkan di atas, kemasan alternatif haruslah fleksibel, kuat, transparan, tidak berbau, tidak mengkontaminasi bahan yang dikemas, tidak beracun, tahan panas, biodegradable dan berasal dari bahan-bahan yang terbarukan. Bahan pembuatan kemasan yang dapat memenuhi persyaratan ini adalah bahan-bahan hasil pertanian seperti karbohidrat, protein dan lemak. Kemasan dari bahan-bahan ini juga dikenal sebagai kemasan edible (Edible packaging) dan kemasan biodegradable.
Edible packaging adalah kemasan yang dapat dimakan karena terbuat dari bahan-bahan yang dapat dimakan seperti pati, protein atau lemak. Jika dibuang, Edible packaging dapat didegradasi melalui proses fotokimia atau dengan menggunakan mikroba penghancur (Paramawati, R. 2001). Keuntungan dari edible packaging adalah dapat melindungi produk pangan, penampakan asli produk dapat dipertahankan dan dapat langsung dimakan serta aman bagi lingkungan.
Edible packaging dibagi jadi dua kelompok besar, yaitu yang berfungsi sebagai pelapis (edible coating) dan yang berbentuk lembaran (edible film). Edible coating banyak digunakan untuk pelapis produk daging beku, makanan semi basah (intermediate moisture food), produk konfeksionari, ayam beku, produk hasil laut, sosis, buah-buahan dan obat-obatan terutama untuk pelapis kapsul (Krochta, 1994).
Edible film adalah lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk di atas komponen makanan yang berfungsi sebagai penghambat transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lemak dan zat terlarut) dan atau sebagai carrier bahan makanan atau aditif dan atau untuk meningkatkan penanganan makanan (Krochta, 1994). Edible film harus mempunyai sifat-sifat yang sama dengan film kemasan seperti plastik, yaitu harus memiliki sifat menahan air sehingga dapat mencegah produk kehilangan kelembaban, memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu, mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna, pigmen alami dan gizi, serta menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet dan penambah aroma yang memperbaiki mutu bahan pangan.
Penggunaan edible film untuk pengemasan produk-produk pangan seperti sosis, buah-buahan dan sayuran segar dapat memperlambat penurunan mutu. Hal ini disebabkan karena edible film dapat berfungsi sebagai penahan difusi gas oksigen, karbondioksida dan uap air serta komponen flavor. Kemampuan ini menciptakan kondisi atmosfir internal yang sesuai dengan kebutuhan produk yang dikemas.
Komponen penyusun edible film akan mempengaruhi bentuk morfologi maupun karakteristik pengemas secara langsung. Komponen utama penyusun edible film dikelompokkan menjadi tiga, yaitu hidrokoloid, lipida dan komposit. Bahan-bahan tambahan yang sering dijumpai dalam pembuatan edible film adalah antimikroba, antioksidan, flavor dan pewarna.
Hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan edible film berupa protein atau polisakarida. Bahan dasar protein dapat berasal dari jagung, kedelai, wheat gluten, kasein, kolagen, gelatin, corn zein, protein susu dan protein ikan. Polisakarida yang digunakan dalam pembuatan edible film adalah selulosa dan turunannya, pati dan turunannya, pektin, ekstrak ganggang laut (alginant, karagenan, agar), gum (gum arab, dan gum karaya), xanthan, dan kitosan. Beberapa polimer polisakarida yang murah dan mudah didapatkan adalah pati tapioka yang sumber utamanya dari singkong.
Lemak yang umum digunakan dalam pembuatan edible film adalah lilin alami (beeswax, carnauba wax, paraffin wax), asil gliserol, asam lemak (asam oleat dan asam laurat) serta emulsifier. Campuran lipida dan hidrokoloid (komposit) untuk edible film seringkali memanfaatkan lipida pada pati dari jagung. Kali ini akan dicoba pati tapioka dari singkong untuk menggantikan lipida dari jagung sehingga bersifat lebih ekonomis.
Komponen yang cukup besar dalam pembuatan edible film adalah plastisizer. Plastisizer adalah bahan organik dengan berat molekul rendah untuk memperlemah kekakuan polimer sekaligus meningkatkan fleksibilitas dan ekstensibilitas polimer (Syamsir, E. 2008). Dalam edible film, plastisizer berfungsi untuk meningkatkan fleksibilitas dan ekstensibilitas film, menghindarkan film dari keretakan, meningkatkan permeabilitas terhadap gas, uap air dan zat terlarut, serta meningkatkan elastisitas film.
Beberapa jenis plastisizer yang dapat digunakan dalam pembuatan edible film adalah gliserol, lilin lebah, polivinil alkohol dn sorbitol. Jenis-jenis plastisizer lain untuk pembuatan edible film adalah asam laurat (CH3(CH2)10COOH), Asam oktanoat (CH3(CH2)6COOH), asam laktat (CH3(CH2)7COOH), trietilen glikol (CH2CH2OCH2OH)2), polietilen glikol (H(OCH2CH2)nOH). Mekanisme proses plastisisasi polimer sebagai akibat penambahan plastisizer melalui urutan pembahasan dan adsorbsi, pemecahan dan atau penetrasi pada permukaan, adsorbsi dan difusi, pemutusan pada bagian amorf, dan pemotongan struktur (Julianti, et al. 2006).
Asam laktat sebagai plastisizer pembuatan edible film juga dapat dibuat dari singkong, karena itu pembuatan edible film dari singkong akan lebih mudah. Asam laktat dengan berat molekul 90, secara teknis dibuat melalui fermentasi karbohidrat seperti glukosa, sukrosa, dan laktosa dengan bantuan Bacillus acidilacti, Lactobacillus delbrueckii, L. bulgaricus dan lain-lain (Julianti, et al. 2006).
Proses pembuatan edible film dimulai dari pelarutan bahan dasar pati tapioka berupa hidrokoloid, lipid atau komposit, kemudian dilakukan penambahan plastisizer. Campuran dipanaskan pada suhu 55-70oC selama 15 menit. Film dicetak (casting) dengan cara menuangkan adonan pada permukaan lembar polietilen yang licin menggunakan auto-casting machine. Selanjutnya dibiarkan beberapa jam pada suhu 35oC dengan RH ruangan 50%. Film yang dihasilkan kemudian dikeringkan selama 12-18 jam pada suhu 30oC RH 50% dan dilanjutkan dengan penyimpanan (conditioning) dalam ruang selama 24 jam menggunakan suhu dan RH ambient (Harris, 2001).
Bentuk lain dari edible packaging adalah edible coating, yaitu pelapisan bahan pangan dengan pelapis yang dapat dimakan. Bahan-bahan baku untuk pembuatan edible coating sama dengan edible film, hanya saja dalam pembuatan edible coating tidak ada penambahan plastisizer, sehingga pelapis yang dihasilkan tidak berbentuk film. Contoh prosedur standar pembuatan edible coating adalah dengan bahan dasar isolate protein kedele (ISP).
Cara-cara pelapisan untuk edible coating adalah pencelupan, penyemprotan atau penaungan. Metode pencelupan dilakukan dengan cara mencelupkan bahan makanan ke dalam edible coating. Untuk mendapatkan permukaan rata, dibutuhkan suatu mantel. Setelah pencelupan, kelebihan mantel dialirkan ke produk dan kemudian dikeringkan agar diperoleh tekstur yang keras. Metode yang lebih praktis, penyemprotan, dilakukan dengan cara menyemprotkan edible coating pada bahan pangan di salah satu sisinya sehingga hasilnya lebih seragam. Metode penuangan dilakukan dengan cara menuangkan edible coating ke bahan yang akan dilapisi. Teknik ini menghasilkan bahan yang lembut dan permukaan yang datar, tapi ketebalannya harus diperhatikan karena mempengaruhi permukaan bahan.
Secara umum karakteristik mekanik penting dari edible film adalah kuat tarik (tensile strength), kuat tusuk (puncture strength), persen pemanjangan (elongation to break), dan elastisitas (elastic modulus/young modulus). Parameter-parameter tersebut dapat menjelaskan bagaimana karakteristik mekanik dari bahan film yang berkaitan dengan struktur kimianya. Parameter kuat tarik menggambarkan gaya maksimum yang terjadi pada film selama pengukuran berlangsung. Hasil pengukuran ini berhubungan erat dengan jumlah plastisizer yang ditambahkan pada proses pembuatan film. Penambahan plastisizer lebih dari jumlah tertentu akan menghasilkan film dengan kuat tarik yang lebih rendah (Harris, 2001).
Modulus elastis merupakan kebalikan dari persen pemanjangan, karena akan semakin menurun seiring meningkatnya jumlah plastisizer dalam film. Modulus elastisitas merupakan ukuran dasar dari kekakuan (stiffness) sebuah film (Harris, 2001).
Nilai permeabilitas suatu film digunakan untuk memperkirakan daya simpan produk yang dikems di dalamnya. Nilai permebilitas juga dapat menentukan produk apa yang dapat dikemas dalam film tersebut. Nilai permeabilitas mencakup permeabilitas terhadap uap air dan gas.
Edible film dari hidrokoloid memiliki beberapa kelebihan, yaitu mampu melindungi dari oksigen, CO2, dan lipid. Selain itu kesatuan struktural produk dapat meningkat karena sifat mekanis yang diinginkan dapat tercapai. Namun, edible film dari hidrokoloid kurang bagus untuk mengatur migrasi uap air dan dipengaruhi perubahan pH.
Kelebihan edible film dari lipid adalah dapat melindungi produk konfeksionari dari air. Namun, integritas dan ketahanannya tidak terlalu baik. Karena itu, untuk menggabungkan kedua jenis edible film ini digunakan edible film komposit (gabungan hidrokoloid dan lipid). Edible film komposit dapat meningkatkan kelebihan dari film hidrokoloid dan lipid sekaligus mengurangi kelemahannya.
Saat ini edible film telah banyak digunakan dalam pengemasan produk buah-buahan segar untuk mengendalikan laju respirasi. Tidak hanya itu, produk-produk pangan lainnya juga sudah banyak menggunakan edible coating. Produk konfeksionari, daging dan ayam beku, sosis, produk hasil laut, dan pangan semi basah adalah beberapa contoh bahan makanan yang sudah seringkali memanfaatkan edible coating sebagai pengemas (Harris, 2001).
Aplikasi dari edible film atau edible coating dibagi atas kelompok kemasan primer, barrier, pengikat, dan pelapis. Sebagai kemasan primer dari produk pangan edible film atau edible coating telah dipakai untuk mengemas permen, sayur-sayuran dan buah-buahan segar, sosis, daging, serta produk hasil laut.
Sebagai barrier, film yang dibentuk dari reaksi gellan gum dengan garam mono atau bivalen, diperdagangkan dengan nama dagang Kelcoge, merupakan barrier yang baik untuk absorbsi minyak pada bahan yang digoreng. Karena itu barrier dari film ini sangat baik untuk menghasilkan bahan dengan kandungan minyak rendah.
Sebagai pengikat, edible film juga dapat diaplikasikan pada snack atau crackers yang diberi bumbu. Di sini edible film berperan sebagai pengikat atau adhesif dari bumbu agar dapat lebih melekat pada produk. Pelapisan ini berguna untuk mengurangi lemak pada bahan yang digoreng dengan penambahan bumbu-bumbu.
Sebagai pelapis, edible film berguna untuk menggantikan telur pada produk-produk bakery. Keuntungannya adalah penampilan produk dapat tetap lebih menarik tanpa mempercepat kontaminasi oleh mikroba seperti jika menggunakan telur sebagai pelapis.
Keuntungan penggunaan edible film untuk kemasan bahan pangan adalah untuk mewadahi dan melindungi produk dari kerusakan-kerusakan, sehingga lebih mudah disimpan, diangkut dan dipasarkan. Sebagai fungsi tambahannya adalah untuk menarik konsumen dalam industri makanan. Kelebihan Edible film dibanding kemasan sintetik adalah dapat dimakan bersama produk yang dikemasnya dan terutama sifatnya yang ramah lingkungan.
Pembuatan edible film pun relatif mudah, bahan pembuatannya berasal dari bahan organik yang mudah didapatkan. Edible film dibuat dari pelarutan bahan dasar pati tapioka berupa hidrokoloid, lipid atau komposit , kemudian dilakukan penambahan plastisizer. Campuran dipanaskan pada suhu 55-70oC selama 15 menit. Film dicetak (casting) dengan cara menuanglan adonan pada permukaan lembar polietilen yang licin menggunakan auto-casting machine. Selanjutnya dibiarkan beberapa jam pada suhu 35oC dengan RH ruangan 50%. Film yang dihasilkan kemudian dikeringkan selama 12-18 jam pada suhu 30oC RH 50% dan dilanjutkan dengan penyimpanan (conditioning) dalam ruang selama 24 jam menggunakan suhu dan RH ambient.
Selain edible istilah lain untuk kemasan yang berasal dari bahan hasil pertanian adalah biopolimer, yaitu polimer hasil pertanian yang dugunakan sebagai bahan baku film kemasan tanpa dicampur dengan polimer sintetis (plastik). Sama seperti edible film, kemasan dari bahan ini juga ramah lingkungan karena bisa didegradasi secara alami dalam waktu relatif singkat.
Besarnya potensi edible film sebagai kemasan alternatif yang ramah lingkungan diharapakan dapat mendorong dilakukannya penelitian lebih lanjut untuk menemukan bahan pembuatan edible film yang selama ini belum diberdayakan. Selain untuk mengurangi masalah lingkungan akibat limbah plastik, diharapkan dapat pula ditemukan bahan edible film dengan memiliki karakteristik terbaik.
DAFTAR PUSTAKA
Harris, Ted (2001). The Advance technology of polymer (online), http://www.ehow/content.php?c=2779, diakses 12 September 2006.
Krochta, Dave. 1994. Another safe way. Maryland-USA: Paul.H.Brookes Publishing Co.
Syamsir, Eddie. 2008. Temuan Terbaru. Bandung: Jala Sutra.
Vedder, Taylor.2008. The Surprises about Packaging. Massachusets: McGraw-Hill.